Minggu, 20 Desember 2015

PESAN DARI RUMAH KEPADA ANGIN (Hani Safitri)


 
Wahai angin yang pandai bersuara
Lihai bercakap dan pekat oleh adab
Sopan santun pasti jadi bingkai
Jangalah kau nodai dengan keingkaran
Tanggung jawab yang diharap
Bukan bisu dalam jarak
Alasan yang ku ingin kau ungkap
Bukan nyaman yang dirusak
Jangan gemar masuk dan keluar rumah orang tanpa permisi
Masuk dengan permisi, keluar pun harus permisi
Agar kau tidak dianggap pencuri
Pencuri hati, barangkali
Karena kaulah anginku
Angin yang meleburkan kesan pertama
dengan beribu kesan ku bersama
Ku biarkan kau jadi angin yang seperti angin
Menghempas dimanapun dan kapanpun
Biarlah hujan menghapus jejakmu
Walau ego minta ampun
Merelakan tanpa adamu
Semarang, 27 November 2015
08.10 WIB

Rabu, 16 Desember 2015

Cerpen Bertema Persahabatan

Siapa Aku?
Hembusan angin sore ini terasa begitu sejuk. Mengingatkanku pada seseorang yang biasanya selalu ada untukku, meskipun aku tidak mengetahuinya. Setiap belaian angin aku resapi hingga anganku mulai membayang tentang mereka. Kini aku menyadari bahwa diri ini bagaikan satu bintang yang posisinya agak dekat tapi condong agak jauh dari empat bintang di sebelahnya. Ditambah lagi cahayaku tak seterang dibandingkan empat bintang diantaranya. Semakin lama semakin redup, barangkali. Bahkan lebih memilih hilang. Tapi egoku memberontak. Aku ini adalah bintang layaknya mereka semua. Aku berhak memancarkan kilaunya cahayaku. Indahnya pancaran mataku. Sayangnya, lebih sering aku dibingungkan dengan siapa diriku sebenarnya? Bukankah aku ini bintang? Sama halnya dengan empat bintang di sebelahku? Apa aku salah jika mengatakan bahwa aku anggota dari bintang-bintang itu? Sebenarnya siapa aku?

Lamunanku terhenti seketika. Rintik gerimis mulai menyadarkanku pada pertanyaan-pertanyaan klasik yang biasa mengusik. Seorang suster datang menjemputku dan mendorong kursi rodaku masuk ke kamar lagi. Sambil membaca buku yang dibawakan oleh entah siapa, tiba-tiba ibu datang menjengukku dan membawakan makanan kesukaanku.
“Sayang, bagaimana harimu? Bukankah cuaca hari ini menyejukkan? Sambil menikmati hujan, ayo temani ibu menikmati biskuit berselai cokelat yang dicelupkan ke dalam susu coklat hangat.”

“Tentu saja menyenangkan, ibu. Apalagi ada ibu di sini. Oke. Ini kesukaanku bu.”
Lalu ibu tersenyum riang dan mulai menyantap biskuit berselai coklat yang dicelupkan ke dalam susu coklat hangat. Nikmatnya suasana seperti ini selalu membuatku rindu pada ibu. Aku sangat bersyukur memiliki ibu yang sangat menyayangiku.

Tiba-tiba ibu menanyakan tentang hubunganku dengan empat orang yang katanya sahabatku. Ya, mereka atau mungkin kami pernah menyerukan diri dengan istilah Five Stars. Secara perlahan aku kisahkan semua pada ibu. Dulu memang aku memiliki empat orang yang aku kira memang sahabat. Awal masuk perkuliahan sebenarnya aku memiliki dua orang teman yang begitu dekat. Tapi setelah acara ospek selesai, kami sudah jarang bersama lagi, karena kami beda jurusan. Kemudian, di kelas aku harus menyesuaikan diri dengan teman-teman yang nantinya akan bersama selama empat tahun, barangkali.

Waktu perkuliahan terasa begitu cepat. Baru kemarin selesai ospek, sekarang sudah satu bulan aku kuliah. Ternyata aku akrab dengan empat orang teman. Mereka perempuan semua. Kila, Rumi, Fifi, Nenez, dan aku, Relin mulai menjalani kebersamaan. Kami senang bercanda bersama, makan siang bersama, ngobrol bersama, dan mengerjakan tugas bersama. Akhirnya Nenez punya ide untuk membuat geng, yaitu Five Stars.
Girls, gimana kalau kita jadi satu geng aja. Nanti kita bikin satu nama yang hits biar pamor kita juga naik” kata Nenez.

“Wah, aku setuju banget tuh. Biar para cowok kenal kita. Jomblo-jomblo diantara kita biar pada didatengin cowok-cowok. Hahaha” Kila nimbrung.

Lalu Fifi dan aku menjewer kuping Kila. Kila mendadak ekspresinya berubah dan agak sewot. Rumi pun angkat bicara. “Emang nama buat geng kita apa Nez? Kamu aja yang mikir namanya ya. Aku udah sering mikirin tugas Dasar-dasar Membaca jadi males mikir yang lainnya nih”

Sontak kami pun tertawa geli mendengar pernyataan Rumi. Memang, dia adalah yang paling rajin mengerjakan tugas kuliah. Kemudian Nenez pun menampakkan ekspresi berpikir. Tiba-tiba dia punya ide. “Gimana kalau Five Stars?”
Kami berlima pun sepakat dengan nama itu. Cukup dengan menganggukkan kepala aku pun ikut-ikutan menyetujuinya. Yah, seperti yang aku amati, di dalam kelas memang sebagian besar mengelompok. Mereka punya geng sendiri-sendiri. Termasuk aku. Sebenarnya aku bukan tipe orang yang nyaman dengan geng semacam itu. Rasanya ada diskriminasi di sana. Kalau bukan anggota geng ya tidak boleh terlalu ikut campur. Hal yang paling menyebalkan adalah jika ada tugas kelompok berasa tidak adil sama sekali. Mereka selalu ingin memilih anggota kelompok sendiri agar bisa dengan anggota gengnya. Lagi-lagi komting yang jadi sasaran para anggota geng.

Hari terasa begitu cepat lajunya. Tiba-tiba saja sudah mulai Ulangan Tengah Semester. Aku dan empat orang sahabatku itu mulai panik belajar ini dan itu. Anggap saja kami geng yang paling rajin belajar diantara geng lainnya di dalam kelas. Tidak heran jika kami terlihat kompak ketika belajar bersama. Ya, meskipun aku merasakan ada sesuatu yang mengganjal diantara kami. Entah itu hanya perasaanku saja, atau mereka juga merasakannya. Aku ingat betul. Dua bulan pertama ketika dekat dengan mereka, kami selalu pergi bersama, jajan berasama, bercanda bersama, bahkan menginap di salah satu kos demi curhat tentang pria yang menjadi idaman kami. Sayangnya, sekarang sudah mulai berubah. Mungkin aku yang berubah. Tapi rasanya mereka yang berubah.

Aku lebih sering kemana-mana sendiri. Tidak seperti dulu lagi. Tapi aku anggap bahwa ini hanyalah peristiwa biasa yang umum terjadi di dalam sebuah geng. Namun, kalau aku amati memang sikap mereka sudah berubah. Aku jadi jarang ngobrol dengan mereka. Mengerjakan tugas besama pun sudah jarang. Lebih parahnya lagi, aku semakin tidak mengerti apa yang mereka bincangkan. Sepertinya aku yang tertinggal informasi. Jadi, aku memutuskan untuk bertanya pada mereka.
“Eh, apa sih yang kalian omongin? Kok aku ngga tau sendiri? Hmm sekarang udah ngga mau cerita ke aku lagi ya?” dengan nada riang dan ekspresi ceria aku bertanya.
“Halah.. Relin mah sekarang udah sibuk sama organisasi. Mentang-mentang aktivis udah jarang kumpul bareng kita.” Cetus Fifi dengan judesnya.

“Jadi, kalian anggap aku melupakan Five Stars? Perasaan aku selalu sempet nongkrong bareng kalian. Meskipun aku harus rapat dan lain-lain. Aku ngga bakal menjauh dari kalian. Bukannya kita ini sahabat?”

Tapi mereka hanya diam dan pergi meninggalkan aku sendiri di kelas. Aku benar-benar heran dan sedih. Kenapa mereka bisa bersikap seperti itu. Apa itu sahabat? Aku tetap menganggap hal ini bukan masalah besar. Aku mencoba bersikap seperti biasa. Nyatanya mereka yang memang sudah menjauh. Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan tidak bergabung lagi dengan mereka.

Memang, sebenarnya aku tidak suka ada geng di dalam kelas. Pasti di sana ada iri dan lain halnya yang menyebabkan perpecahan. Mungkin memang aku harus netral di dalam kelas. Meskipun aku harus dijauhi oleh gengku sendiri. Hari demi hari aku lalui seperti biasanya. Sekarang aku jadi pendiam di kelas. Aku benar-benar hanya kuliah di kelas. Setelah selesai, aku langsung pergi menjalani aktivitasku yang lain. Sekarang tidak lagi makan siang bersa,a geng, bercanda bersama geng, maupun pulang bersama geng. Apalagi jalan-jalan bersama geng, bertegur sapa pun sudah tidak.

Untungnya aku masih punya banyak teman di organisasi. Mereka juga tidak kalah akrab denganku. Di kelas pun sebenarnya aku masih punya teman. Hanya saja aku netral. Dengan siapapun aku mencoba berbaur. Hanya gengku sendiri yang bersikap beda terhadapku. Padahal dulunya kita bersatu. Tapi aku sudah melupakan itu semua agar aku tidak lagi murung.

Tibalah pada saat ada tugas kelompok yang membuatku benci. Lagi-lagi mereka selalu ingin pilih sendiri anggota kelompoknya. Aku pun tidak lagi bersama geng Five Stars. Bahkan kali ini aku mendapat kelompok sisa. Tapi aku tetap menerimanya. Yang penting ada teman satu kelompok. Tugas kelompok pun usai sebagai tugas akhir semester satu.

Pagi yang begitu cerah. Kakiku pun melangkah mengejar masa depan yang gemilang. Hari ini kuliah perdana semester dua. Rasanya senang bukan main. Meski IP belum cumlaude tapi aku tetap senang. Ini hanyalah awal, masih ada kesempatan dan proses yang panjang. Aku bisa memperbaiki IP di semester ini dan selanjutnya.

Aku duduk di bangku paling depan. Pertemuan pertama biasanya hanya kontrak kuliah. Tapi entah kenapa terasa begitu lama. Tiba-tiba aku pusing. Semakin lama semakin berat kepalaku. Pandangan mulai gelap. Langsung saja aku kehilangan kesadaran. Ternyata aku pingsan. Saat tersadar aku sudah di rumah sakit. Di sana hanya ada ibu dan beberapa teman kelasku. Aku cari-cari anggota Five Star. Ternyata memang tidak ada. Mereka sudah tidak peduli lagi padaku. Baiklah. Sudahlah. Lupakan.

Dua hari aku dirawat di rumah sakit. Aku bisa kembali lagi kuliah. Meskipun kondisiku masih agak lemas. Entah aku sakit apa aku tidak tau dan tidak peduli. Siang harinya aku bertemu gengku dulu. Aku sapa mereka. Tapi mereka hanya cuek dan tidak menanyakan kondisiku. Rasanya sedih sekali. Aku merasa tidak punya teman sama sekali. Tidak ada yang perhatian padaku.

Saat mau pulang kuliah, tiba-tiba aku lemas lagi. Aku hamper jatuh dan berpegangan pada tangan Kila. Tapi Kila menghindar. Aku jatuh di tangga. Akhirnya aku pingsan lagi. Saat itulah aku tidak merasa sedih. Karena aku berada di alam bawah sadar. Aku tidak tau apa-apa lagi.

Saat aku sadar. Lagi-lagi aku sudah di rumah sakit. Katanya aku koma selama tiga hari. Aku semakin heran. Sebenarnya ada apa denganku? Di ruangan hanya ada ibu dan ayah. Mereka terlihat terharu dan bahagia karena aku sudah sadar. Dengan suara agak lemah aku bertanya, “Bu, siapa yang membawaku ke rumah sakit?”
“Komting kelasmu dan beberapa teman di kelasmu.” Jawab ibu.
“Apa Kila, Rumi, Fifi, dan Nenez datang menjengukku?”
“Sepertinya mereka sedang sibu, jadi belum datang menjengukmu sayang.”

Aku pun diam dan sedih kembali. Air mataku mulai mengalir. Ibu memelukku dengan erat. Aku pun begitu. Ayah mengusap ubun-ubunku dengan lembut.
Siang hari ayah dan ibu pulang karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Rasanya aku mulai bosan di rumah sakit. Aku meminta suster agar mengantarku ke taman agar aku bisa menghirup udara segar di luar. Aku pun meminta suster agar meninggalkan aku sendiri.

Ku nikmati setiap hembusan angina yang mengalir. Menyapu rambut poniku hingga berantakan. Ingatanku kembali pada masa-masa bahagianya bersama empat orang temanku itu. Yang aku kira sahabat. Yang selalu ada dalam keadaan senang maupun sedih. Sayangnya tanpa sebab yang jelas mereka sudah meninggalkanku. Kini aku sakit, tapi mereka tidak ada di sekelilingku. Aku benr-benar berharap memiliki sahabat yang sejati. Yang selalu ada untukku. Tiba-tiba gerimis. Suster pun mengantarkanku ke kamar lagi.

Ibu mendengarkan ceritaku dengan haru sore itu. Lalu ibu menceritakan sesuatu hal.
“Sebenarnya, saat kamu koma ada salah satu temanmu yang menunggumu selama tiga hari. Dia selalu duduk di sini sambil membaca novel dan novel ini ditinggal untukmu. Katanya dia teman satu organisasi denganmu. Namanya Nana. Tapi satu dua jam sebelum kamu sadar, dia berpamit untuk pulang, katanya ada urusan. Satu jam kemudian, orang tua Nana mengabari ayah. Ternyata Nana sakitnya kambuh. Dia dibawa ke rumah sakit ini juga. Dalam waktu setengah jam dirawat, dia meninggal. Ternyata dia sakit kanker stadium akhir. Ibu sedih sekali nak.”

Ibu menangis. Aku pun menangis. Aku tidak menyangka bahwa Nana begitu perhatian padaku. Padahal sepengetahuanku, dia anak yang pendiam di organisasi. Dia jarang bicara padaku pula. Tapi ternyata dia sangat perhatian padaku. Sampai titik akhir usianya, masih saja dia baik padaku. Entah ucapan terima kasih apa yang bisa aku sampaikan. Dia kini telah tiada. Aku pun mendatangi makamnya. Lalu aku kembali sakit. Lagi-lagi aku masih dirawat di rumah sakit. Saat aku buka novel-novelnya, terselip satu lembar kertas dari Nana. Aku pun mulai membacanya dengan haru. Nana sahabatku, selamat jalan.

Selasa, 17 November 2015

Analisis Puisi Diponegoro Karya Chairil Anwar



Nama               : Hani Safitri  
NIM                : 2101414010
Rombel            : Satu
Prodi               : PBSI


DIPONEGORO
(Chairil Anwar)

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.

Februari 1943






Apresiasi Puisi Berjudul Diponegoro Karya Chairil Anwar.

Puisi ini menggambarkan semangat perjuangan dalam jiwa penulis. Hal ini tercantum dalam baris pertama dan ke-dua, Dimasa pembangunan ini tuan hidup kembali. Makna dari puisi baris tersebut yaitu menunjukkan ketika dalam masa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, penulis menggambarkan semangat perjuangan Diponegoro yang dimiliki oleh rakyat Indonesia saat itu (tahun 1943). Kemudian baris ke-tiga, dan bara kagum menjadi api, ini bermakna semangat perjuangan yang digambarkan oleh penulis sangatlah luar biasa dalam artian menggebu-gebu. Hal tersebut tergambar dalam kata bara dan api, bara dan api merupakan zat yang panas, sehingga tepat sekali untuk menggambarkan semangat juang penulis yang memanas.  Dilanjutkan oleh baris ke-empat dan ke-lima, yaitu di depan sekali tuan menanti, tak gentar, lawan banyaknya seratus kali. Dengan demikian semakin terlihat bahwa para pejuang yang betapa semangatnya sehingga menjadi pemberani dalam melawan penjajah. Mereka tidak memiliki keraguan apapun, yang ada hanya semangat berjuang dan berjuang.

Lalu baris ke-enam, pedang di kanan keris di kiri, mengandung arti bahwa dalam masa itu pejuang Indonesia melawan penjajah dengan senjata apapun yang dimilikinya, baik senjata yang secara fisik terlihat maupun senjata yang hanya berupa harapan atau doa. Lalu baris ke-tujuh, berselempang semangat yang tak bisa mati, ini menggambarkan betapa bergejolaknya semangat di jiwa mereka sehingga tidak ada yang bisa membunuh semangat tersebut hingga mati sekalipun. Kemudian baris ke-delapan, maju, berarti sebuah kata seruan atau ajakan untuk maju melawan penjajah. Sedangkan baris ke-sembilan dan sepuluh yaitu ini barisan tak bergendarang-berpalu, kepercayaan tanda menyerbu. Hal ini bermakna bahwa seluruh pasukan pejuang Indonesia tidak memiliki senjata yang canggih seperti para penjajah, tetapi mereka hanya bermodalkan semangat dan kepercayaan satu sama lain sehingga menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Selanjutnya baris ke-sebelas dan dua belas, sekali berarti, sudah itu mati. Dalam hal ini penulis mengungkapkan semangat pejuang Indonesia yang suka rela mempertaruhkan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa Indonesia, meskipun nantinya mereka mati oleh serangan penjajah. Baris ke-tiga belas, maju, ini juga merupakan kata seruan yang diungkapkan penulis untuk pejuang Indonesia agar tetap maju apapun yang terjadi. Lalu baris ke-empat belas dan lima belas, bagimu negeri, menyediakan api, berarti penulis menyatakan bahwa bangsa Indonesia pun memberikan dukungan penuh berupa semangat kepada pejuang Indonesia. Dilanjutkan baris ke-enam belas dan tujuh belas, punah di atas menghamba, binasa di atas ditinda. Dalam kalimat tersebut digambarkan yaitu dengan tetap semangat berjuang melawan penjajah maka harapannya rakyat Indonesia akan berhenti menjadi budak penjajah dan berhenti ditindas oleh penjajah.   

            Puisi baris ke-delapan belas dan sembilan belas, sungguhpun dalam ajal baru tercapai, jika hidup harus merasai. Berarti, penulis menggambarkan pejuang Indonesia saat itu memiliki paham bahwa mereka akan mati apabila ketika hidup mereka sudah berjuang dan memberikan persembahan bagi bangsa Indonesia. Kemudian bait terakhir, maju, serbu, serang, terjang, bermakna suatu kata seruan bagi pejuang Indonesia agar maju untuk menyerbu, menyerang, dan menerjang penjajah.

            Jadi dapat disimpulkan bahwa puisi berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar tersebut menggambarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah saat itu agar mencapai kemerdekaan Indonesia. Menurut Taba and Squire dalam aspek kognitif, ketika pembaca membaca puisi tersebut maka intelektualnya akan jalan. Misalnya, ketika membaca judul puisi, baris puisi pertama dan kedua mereka menjadi teringat ketika masa penjajahan dahulu. Betapa besarnya perjuangan dari Diponegoro kala itu. Sehingga mereka dapat menghayati benar makna dari baris puisi tersebut. Apa lagi dengan memahami baris puisi keenam belas dan tujuh bela, punah di atas menghamba, binasa di atas ditinda. Hal ini menyebabkan pembaca lebih menggali ingatan kembali mengenai pengetahuan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah. Betapa malangnya bangsa Indonesia ketika menjadi budak para penjajah dan ditindas oleh mereka. Sehingga pembaca juga mengetahui tujuan dari penulis ini yaitu untuk menunjukkan dan membangkitkan semangat para pejuang Indonesia dalam meraih kemerdekaan saat itu.

            Kemudian aspek yang kedua yaitu emotif. Hal ini ditunjukkan oleh baris puisi ke lima, enam, dan tujuh, yaitu, Tak gentar, lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati. Dengan meresapi makna baris puisi tersebut makna emosi dari pembaca pun mulai muncul. Mereka juga terpengaruh untuk membacakan puisi dengan intonasi yang keras dan bersemangat. Karena emosi mereka terbakar oleh baris puisi tersebut. Seolah-olah merekalah yang saat itu sedang melawan para penjajah. Dilanjutkan lagi oleh bait terakhir yang makna dari isi bait tersebut yaitu berupa seruan bagi bangsa Indonesia agar bangkit untuk melawan penjajah. Dengan emosi yang dikuasai oleh pembaca, maka mereka pun ikut menggebu-gebu semangatnya saat membacakan bait puisi terssebut. Jadi emosi pembaca itu lebih menonjol atau terlihat saat membaca bait terakhir.

            Disamping itu, ada satu aspek lagi yaitu aspek evaluatif. Setelah pembaca mengetahui makna dari puisi Diponegoro, kemudian menerapkan dua aspek di atas, maka pembaca pun akan menerapkan aspek ketiga ini, yakni mengevaluasi puisi tersebut. Mereka tentunya akan memberikan suatu penilaian terhadap puisi tersebut. Misalnya dari segi bahasa yang digunakan oleh penulis. Chairil Anwar termasuk penulis yang cukup mahir dalam mengolah bahasa sehingga puisinya pun mengandung makna-makna tersirat yang cukup padat. Sehingga dapat menimbulkan berbagai persepsi dari masing-masing pembaca. Lalu dari segi makna dari isi puisinya, ia menunjukkan dirinya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Artinya, penulis pun menggambarkan semangat perjuangan yang ia rasakan saat itu, tidak hanya semangat para pahlawan saat itu tetapi juga dirinya. Dengan demikian, maka teori dari Taba and Squire diterapkan juga oleh pembaca secara tidak langsung dalam mengkaji suatu puisi.