Nama :
Hani Safitri
NIM :
2101414010
Rombel :
Satu
Prodi :
PBSI
DIPONEGORO
(Chairil Anwar)
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari 1943
Apresiasi Puisi Berjudul Diponegoro Karya Chairil
Anwar.
Puisi ini menggambarkan semangat
perjuangan dalam jiwa penulis. Hal ini tercantum dalam baris pertama dan
ke-dua, Dimasa pembangunan ini tuan hidup
kembali. Makna dari puisi baris tersebut yaitu menunjukkan ketika dalam
masa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia, penulis menggambarkan semangat
perjuangan Diponegoro yang dimiliki oleh rakyat Indonesia saat itu (tahun
1943). Kemudian baris ke-tiga, dan bara
kagum menjadi api, ini bermakna semangat perjuangan yang digambarkan oleh
penulis sangatlah luar biasa dalam artian menggebu-gebu. Hal tersebut tergambar
dalam kata bara dan api, bara dan api merupakan zat yang panas, sehingga tepat
sekali untuk menggambarkan semangat juang penulis yang memanas. Dilanjutkan oleh baris ke-empat dan ke-lima,
yaitu di depan sekali tuan menanti, tak
gentar, lawan banyaknya seratus kali. Dengan demikian semakin terlihat
bahwa para pejuang yang betapa semangatnya sehingga menjadi pemberani dalam
melawan penjajah. Mereka tidak memiliki keraguan apapun, yang ada hanya
semangat berjuang dan berjuang.
Lalu baris ke-enam, pedang di kanan keris di kiri,
mengandung arti bahwa dalam masa itu pejuang Indonesia melawan penjajah dengan
senjata apapun yang dimilikinya, baik senjata yang secara fisik terlihat maupun
senjata yang hanya berupa harapan atau doa. Lalu baris ke-tujuh, berselempang semangat yang tak bisa mati,
ini menggambarkan betapa bergejolaknya semangat di jiwa mereka sehingga tidak
ada yang bisa membunuh semangat tersebut hingga mati sekalipun. Kemudian baris
ke-delapan, maju, berarti sebuah kata
seruan atau ajakan untuk maju melawan penjajah. Sedangkan baris ke-sembilan dan
sepuluh yaitu ini barisan tak
bergendarang-berpalu, kepercayaan tanda menyerbu. Hal ini bermakna bahwa
seluruh pasukan pejuang Indonesia tidak memiliki senjata yang canggih seperti
para penjajah, tetapi mereka hanya bermodalkan semangat dan kepercayaan satu
sama lain sehingga menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan untuk melakukan
perlawanan terhadap penjajah.
Selanjutnya baris ke-sebelas dan
dua belas, sekali berarti, sudah itu mati.
Dalam hal ini penulis mengungkapkan semangat pejuang Indonesia yang suka rela
mempertaruhkan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa Indonesia, meskipun
nantinya mereka mati oleh serangan penjajah. Baris ke-tiga belas, maju, ini juga merupakan kata seruan
yang diungkapkan penulis untuk pejuang Indonesia agar tetap maju apapun yang
terjadi. Lalu baris ke-empat belas dan lima belas, bagimu negeri, menyediakan api, berarti penulis menyatakan bahwa
bangsa Indonesia pun memberikan dukungan penuh berupa semangat kepada pejuang
Indonesia. Dilanjutkan baris ke-enam belas dan tujuh belas, punah di atas menghamba, binasa di atas ditinda. Dalam kalimat
tersebut digambarkan yaitu dengan tetap semangat berjuang melawan penjajah maka
harapannya rakyat Indonesia akan berhenti menjadi budak penjajah dan berhenti ditindas
oleh penjajah.
Puisi
baris ke-delapan belas dan sembilan belas, sungguhpun
dalam ajal baru tercapai, jika hidup harus merasai. Berarti, penulis
menggambarkan pejuang Indonesia saat itu memiliki paham bahwa mereka akan mati
apabila ketika hidup mereka sudah berjuang dan memberikan persembahan bagi
bangsa Indonesia. Kemudian bait terakhir, maju,
serbu, serang, terjang, bermakna suatu kata seruan bagi pejuang Indonesia
agar maju untuk menyerbu, menyerang, dan menerjang penjajah.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa puisi berjudul Diponegoro karya Chairil Anwar tersebut
menggambarkan semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam melawan penjajah saat
itu agar mencapai kemerdekaan Indonesia. Menurut Taba and Squire dalam aspek
kognitif, ketika pembaca membaca puisi tersebut maka intelektualnya akan jalan.
Misalnya, ketika membaca judul puisi, baris puisi pertama dan kedua mereka
menjadi teringat ketika masa penjajahan dahulu. Betapa besarnya perjuangan dari
Diponegoro kala itu. Sehingga mereka dapat menghayati benar makna dari baris
puisi tersebut. Apa lagi dengan memahami baris puisi keenam belas dan tujuh
bela, punah di atas menghamba, binasa di
atas ditinda. Hal ini menyebabkan pembaca lebih menggali ingatan kembali
mengenai pengetahuan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah.
Betapa malangnya bangsa Indonesia ketika menjadi budak para penjajah dan
ditindas oleh mereka. Sehingga pembaca juga mengetahui tujuan dari penulis ini
yaitu untuk menunjukkan dan membangkitkan semangat para pejuang Indonesia dalam
meraih kemerdekaan saat itu.
Kemudian
aspek yang kedua yaitu emotif. Hal ini ditunjukkan oleh baris puisi ke lima,
enam, dan tujuh, yaitu, Tak gentar, lawan
banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat
yang tak bisa mati. Dengan meresapi makna baris puisi tersebut makna emosi
dari pembaca pun mulai muncul. Mereka juga terpengaruh untuk membacakan puisi
dengan intonasi yang keras dan bersemangat. Karena emosi mereka terbakar oleh
baris puisi tersebut. Seolah-olah merekalah yang saat itu sedang melawan para
penjajah. Dilanjutkan lagi oleh bait terakhir yang makna dari isi bait tersebut
yaitu berupa seruan bagi bangsa Indonesia agar bangkit untuk melawan penjajah.
Dengan emosi yang dikuasai oleh pembaca, maka mereka pun ikut menggebu-gebu
semangatnya saat membacakan bait puisi terssebut. Jadi emosi pembaca itu lebih
menonjol atau terlihat saat membaca bait terakhir.
Disamping
itu, ada satu aspek lagi yaitu aspek evaluatif. Setelah pembaca mengetahui
makna dari puisi Diponegoro, kemudian menerapkan dua aspek di atas, maka
pembaca pun akan menerapkan aspek ketiga ini, yakni mengevaluasi puisi
tersebut. Mereka tentunya akan memberikan suatu penilaian terhadap puisi tersebut.
Misalnya dari segi bahasa yang digunakan oleh penulis. Chairil Anwar termasuk
penulis yang cukup mahir dalam mengolah bahasa sehingga puisinya pun mengandung
makna-makna tersirat yang cukup padat. Sehingga dapat menimbulkan berbagai
persepsi dari masing-masing pembaca. Lalu dari segi makna dari isi puisinya, ia
menunjukkan dirinya memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Artinya, penulis
pun menggambarkan semangat perjuangan yang ia rasakan saat itu, tidak hanya
semangat para pahlawan saat itu tetapi juga dirinya. Dengan demikian, maka
teori dari Taba and Squire diterapkan juga oleh pembaca secara tidak langsung
dalam mengkaji suatu puisi.