Siapa
Aku?
Hembusan angin sore ini
terasa begitu sejuk. Mengingatkanku pada seseorang yang biasanya selalu ada
untukku, meskipun aku tidak mengetahuinya. Setiap belaian angin aku resapi
hingga anganku mulai membayang tentang mereka. Kini aku menyadari bahwa diri ini
bagaikan satu bintang yang posisinya agak dekat tapi condong agak jauh dari
empat bintang di sebelahnya. Ditambah lagi cahayaku tak seterang dibandingkan
empat bintang diantaranya. Semakin lama semakin redup, barangkali. Bahkan lebih
memilih hilang. Tapi egoku memberontak. Aku ini adalah bintang layaknya mereka
semua. Aku berhak memancarkan kilaunya cahayaku. Indahnya pancaran mataku.
Sayangnya, lebih sering aku dibingungkan dengan siapa diriku sebenarnya?
Bukankah aku ini bintang? Sama halnya dengan empat bintang di sebelahku? Apa
aku salah jika mengatakan bahwa aku anggota dari bintang-bintang itu?
Sebenarnya siapa aku?
Lamunanku terhenti
seketika. Rintik gerimis mulai menyadarkanku pada pertanyaan-pertanyaan klasik
yang biasa mengusik. Seorang suster datang menjemputku dan mendorong kursi
rodaku masuk ke kamar lagi. Sambil membaca buku yang dibawakan oleh entah
siapa, tiba-tiba ibu datang menjengukku dan membawakan makanan kesukaanku.
“Sayang, bagaimana
harimu? Bukankah cuaca hari ini menyejukkan? Sambil menikmati hujan, ayo temani
ibu menikmati biskuit berselai cokelat yang dicelupkan ke dalam susu coklat
hangat.”
“Tentu saja
menyenangkan, ibu. Apalagi ada ibu di sini. Oke. Ini kesukaanku bu.”
Lalu ibu tersenyum
riang dan mulai menyantap biskuit berselai coklat yang dicelupkan ke dalam susu
coklat hangat. Nikmatnya suasana seperti ini selalu membuatku rindu pada ibu.
Aku sangat bersyukur memiliki ibu yang sangat menyayangiku.
Tiba-tiba ibu
menanyakan tentang hubunganku dengan empat orang yang katanya sahabatku. Ya,
mereka atau mungkin kami pernah menyerukan diri dengan istilah Five Stars. Secara perlahan aku kisahkan
semua pada ibu. Dulu memang aku memiliki empat orang yang aku kira memang
sahabat. Awal masuk perkuliahan sebenarnya aku memiliki dua orang teman yang
begitu dekat. Tapi setelah acara ospek selesai, kami sudah jarang bersama lagi,
karena kami beda jurusan. Kemudian, di kelas aku harus menyesuaikan diri dengan
teman-teman yang nantinya akan bersama selama empat tahun, barangkali.
Waktu perkuliahan
terasa begitu cepat. Baru kemarin selesai ospek, sekarang sudah satu bulan aku
kuliah. Ternyata aku akrab dengan empat orang teman. Mereka perempuan semua.
Kila, Rumi, Fifi, Nenez, dan aku, Relin mulai menjalani kebersamaan. Kami
senang bercanda bersama, makan siang bersama, ngobrol bersama, dan mengerjakan
tugas bersama. Akhirnya Nenez punya ide untuk membuat geng, yaitu Five Stars.
“Girls, gimana kalau kita jadi satu geng aja. Nanti kita bikin satu
nama yang hits biar pamor kita juga
naik” kata Nenez.
“Wah, aku setuju banget
tuh. Biar para cowok kenal kita. Jomblo-jomblo diantara kita biar pada
didatengin cowok-cowok. Hahaha” Kila nimbrung.
Lalu Fifi dan aku
menjewer kuping Kila. Kila mendadak ekspresinya berubah dan agak sewot. Rumi
pun angkat bicara. “Emang nama buat geng kita apa Nez? Kamu aja yang mikir
namanya ya. Aku udah sering mikirin tugas Dasar-dasar Membaca jadi males mikir
yang lainnya nih”
Sontak kami pun tertawa
geli mendengar pernyataan Rumi. Memang, dia adalah yang paling rajin
mengerjakan tugas kuliah. Kemudian Nenez pun menampakkan ekspresi berpikir.
Tiba-tiba dia punya ide. “Gimana kalau Five
Stars?”
Kami berlima pun
sepakat dengan nama itu. Cukup dengan menganggukkan kepala aku pun ikut-ikutan
menyetujuinya. Yah, seperti yang aku amati, di dalam kelas memang sebagian
besar mengelompok. Mereka punya geng sendiri-sendiri. Termasuk aku. Sebenarnya
aku bukan tipe orang yang nyaman dengan geng semacam itu. Rasanya ada
diskriminasi di sana. Kalau bukan anggota geng ya tidak boleh terlalu ikut
campur. Hal yang paling menyebalkan adalah jika ada tugas kelompok berasa tidak
adil sama sekali. Mereka selalu ingin memilih anggota kelompok sendiri agar
bisa dengan anggota gengnya. Lagi-lagi komting yang jadi sasaran para anggota
geng.
Hari terasa begitu
cepat lajunya. Tiba-tiba saja sudah mulai Ulangan Tengah Semester. Aku dan
empat orang sahabatku itu mulai panik belajar ini dan itu. Anggap saja kami
geng yang paling rajin belajar diantara geng lainnya di dalam kelas. Tidak
heran jika kami terlihat kompak ketika belajar bersama. Ya, meskipun aku
merasakan ada sesuatu yang mengganjal diantara kami. Entah itu hanya perasaanku
saja, atau mereka juga merasakannya. Aku ingat betul. Dua bulan pertama ketika
dekat dengan mereka, kami selalu pergi bersama, jajan berasama, bercanda
bersama, bahkan menginap di salah satu kos demi curhat tentang pria yang
menjadi idaman kami. Sayangnya, sekarang sudah mulai berubah. Mungkin aku yang
berubah. Tapi rasanya mereka yang berubah.
Aku lebih sering
kemana-mana sendiri. Tidak seperti dulu lagi. Tapi aku anggap bahwa ini
hanyalah peristiwa biasa yang umum terjadi di dalam sebuah geng. Namun, kalau
aku amati memang sikap mereka sudah berubah. Aku jadi jarang ngobrol dengan mereka.
Mengerjakan tugas besama pun sudah jarang. Lebih parahnya lagi, aku semakin
tidak mengerti apa yang mereka bincangkan. Sepertinya aku yang tertinggal
informasi. Jadi, aku memutuskan untuk bertanya pada mereka.
“Eh, apa sih yang
kalian omongin? Kok aku ngga tau sendiri? Hmm sekarang udah ngga mau cerita ke
aku lagi ya?” dengan nada riang dan ekspresi ceria aku bertanya.
“Halah.. Relin mah
sekarang udah sibuk sama organisasi. Mentang-mentang aktivis udah jarang kumpul
bareng kita.” Cetus Fifi dengan judesnya.
“Jadi, kalian anggap
aku melupakan Five Stars? Perasaan
aku selalu sempet nongkrong bareng kalian. Meskipun aku harus rapat dan
lain-lain. Aku ngga bakal menjauh dari kalian. Bukannya kita ini sahabat?”
Tapi mereka hanya diam
dan pergi meninggalkan aku sendiri di kelas. Aku benar-benar heran dan sedih.
Kenapa mereka bisa bersikap seperti itu. Apa itu sahabat? Aku tetap menganggap
hal ini bukan masalah besar. Aku mencoba bersikap seperti biasa. Nyatanya mereka
yang memang sudah menjauh. Akhirnya aku memutuskan untuk diam dan tidak
bergabung lagi dengan mereka.
Memang, sebenarnya aku
tidak suka ada geng di dalam kelas. Pasti di sana ada iri dan lain halnya yang
menyebabkan perpecahan. Mungkin memang aku harus netral di dalam kelas.
Meskipun aku harus dijauhi oleh gengku sendiri. Hari demi hari aku lalui
seperti biasanya. Sekarang aku jadi pendiam di kelas. Aku benar-benar hanya
kuliah di kelas. Setelah selesai, aku langsung pergi menjalani aktivitasku yang
lain. Sekarang tidak lagi makan siang bersa,a geng, bercanda bersama geng,
maupun pulang bersama geng. Apalagi jalan-jalan bersama geng, bertegur sapa pun
sudah tidak.
Untungnya aku masih
punya banyak teman di organisasi. Mereka juga tidak kalah akrab denganku. Di
kelas pun sebenarnya aku masih punya teman. Hanya saja aku netral. Dengan
siapapun aku mencoba berbaur. Hanya gengku sendiri yang bersikap beda
terhadapku. Padahal dulunya kita bersatu. Tapi aku sudah melupakan itu semua
agar aku tidak lagi murung.
Tibalah pada saat ada
tugas kelompok yang membuatku benci. Lagi-lagi mereka selalu ingin pilih
sendiri anggota kelompoknya. Aku pun tidak lagi bersama geng Five Stars. Bahkan kali ini aku mendapat
kelompok sisa. Tapi aku tetap menerimanya. Yang penting ada teman satu
kelompok. Tugas kelompok pun usai sebagai tugas akhir semester satu.
Pagi yang begitu cerah.
Kakiku pun melangkah mengejar masa depan yang gemilang. Hari ini kuliah perdana
semester dua. Rasanya senang bukan main. Meski IP belum cumlaude tapi aku tetap senang. Ini hanyalah awal, masih ada
kesempatan dan proses yang panjang. Aku bisa memperbaiki IP di semester ini dan
selanjutnya.
Aku duduk di bangku
paling depan. Pertemuan pertama biasanya hanya kontrak kuliah. Tapi entah
kenapa terasa begitu lama. Tiba-tiba aku pusing. Semakin lama semakin berat
kepalaku. Pandangan mulai gelap. Langsung saja aku kehilangan kesadaran.
Ternyata aku pingsan. Saat tersadar aku sudah di rumah sakit. Di sana hanya ada
ibu dan beberapa teman kelasku. Aku cari-cari anggota Five Star. Ternyata memang tidak ada. Mereka sudah tidak peduli
lagi padaku. Baiklah. Sudahlah. Lupakan.
Dua hari aku dirawat di
rumah sakit. Aku bisa kembali lagi kuliah. Meskipun kondisiku masih agak lemas.
Entah aku sakit apa aku tidak tau dan tidak peduli. Siang harinya aku bertemu
gengku dulu. Aku sapa mereka. Tapi mereka hanya cuek dan tidak menanyakan
kondisiku. Rasanya sedih sekali. Aku merasa tidak punya teman sama sekali.
Tidak ada yang perhatian padaku.
Saat mau pulang kuliah,
tiba-tiba aku lemas lagi. Aku hamper jatuh dan berpegangan pada tangan Kila.
Tapi Kila menghindar. Aku jatuh di tangga. Akhirnya aku pingsan lagi. Saat
itulah aku tidak merasa sedih. Karena aku berada di alam bawah sadar. Aku tidak
tau apa-apa lagi.
Saat aku sadar.
Lagi-lagi aku sudah di rumah sakit. Katanya aku koma selama tiga hari. Aku
semakin heran. Sebenarnya ada apa denganku? Di ruangan hanya ada ibu dan ayah.
Mereka terlihat terharu dan bahagia karena aku sudah sadar. Dengan suara agak
lemah aku bertanya, “Bu, siapa yang membawaku ke rumah sakit?”
“Komting kelasmu dan
beberapa teman di kelasmu.” Jawab ibu.
“Apa Kila, Rumi, Fifi,
dan Nenez datang menjengukku?”
“Sepertinya mereka
sedang sibu, jadi belum datang menjengukmu sayang.”
Aku pun diam dan sedih
kembali. Air mataku mulai mengalir. Ibu memelukku dengan erat. Aku pun begitu.
Ayah mengusap ubun-ubunku dengan lembut.
Siang hari ayah dan ibu pulang karena
ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Rasanya aku mulai bosan di rumah sakit.
Aku meminta suster agar mengantarku ke taman agar aku bisa menghirup udara
segar di luar. Aku pun meminta suster agar meninggalkan aku sendiri.
Ku nikmati setiap
hembusan angina yang mengalir. Menyapu rambut poniku hingga berantakan.
Ingatanku kembali pada masa-masa bahagianya bersama empat orang temanku itu.
Yang aku kira sahabat. Yang selalu ada dalam keadaan senang maupun sedih.
Sayangnya tanpa sebab yang jelas mereka sudah meninggalkanku. Kini aku sakit,
tapi mereka tidak ada di sekelilingku. Aku benr-benar berharap memiliki sahabat
yang sejati. Yang selalu ada untukku. Tiba-tiba gerimis. Suster pun
mengantarkanku ke kamar lagi.
Ibu mendengarkan
ceritaku dengan haru sore itu. Lalu ibu menceritakan sesuatu hal.
“Sebenarnya, saat kamu
koma ada salah satu temanmu yang menunggumu selama tiga hari. Dia selalu duduk
di sini sambil membaca novel dan novel ini ditinggal untukmu. Katanya dia teman
satu organisasi denganmu. Namanya Nana. Tapi satu dua jam sebelum kamu sadar,
dia berpamit untuk pulang, katanya ada urusan. Satu jam kemudian, orang tua
Nana mengabari ayah. Ternyata Nana sakitnya kambuh. Dia dibawa ke rumah sakit
ini juga. Dalam waktu setengah jam dirawat, dia meninggal. Ternyata dia sakit
kanker stadium akhir. Ibu sedih sekali nak.”
Ibu menangis. Aku pun
menangis. Aku tidak menyangka bahwa Nana begitu perhatian padaku. Padahal
sepengetahuanku, dia anak yang pendiam di organisasi. Dia jarang bicara padaku
pula. Tapi ternyata dia sangat perhatian padaku. Sampai titik akhir usianya,
masih saja dia baik padaku. Entah ucapan terima kasih apa yang bisa aku
sampaikan. Dia kini telah tiada. Aku pun mendatangi makamnya. Lalu aku kembali
sakit. Lagi-lagi aku masih dirawat di rumah sakit. Saat aku buka
novel-novelnya, terselip satu lembar kertas dari Nana. Aku pun mulai membacanya
dengan haru. Nana sahabatku, selamat jalan.